Kesehatan Mental di Tempat Kerja

Pada bulan Juni 2022 ini, dunia menyaksikan bagaimana Inggris memulai sebuah eksperimen besar-besaran. Negara ini menjajal pola kerja baru yakni empat hari kerja per minggu. Dalam uji cob aini, lebih dari 3.300 pekerja dari 70 perusahaan di Inggris memulai pola kerja seperti ini. Hal ini akan mereka lakukan selama enam bulan ke depan. Terdapat sejumlah universitas kelas kakap berada di belakang inisiatif ini. Eksperimentasi ini diharapkan memunculkan aneka hasil yang siap mereka kaji untuk melihat bagaimanakah dampak dari perubahan durasi bekerja tersebut. Jadi dengan gaji tetap, para pegawai kini bekerja dengan jam kerja lebih sedikit. Mereka cukup fokus lebih tajam pada luaran yang mereka hasilkan, bukan lagi pada lama waktu yang mereka habiskan untuk bekerja.

Sekian bulan sebelumnya yaitu pada Januari 2022, Psychology Today menurunkan artikel yang mendukung inisiatif tersebut. Pengurangan jam kerja dianggap dapat mengatasi burnout, kelelahan bahkan keinginan pegawai untuk mengundurkan diri dari pekerjaan. Di masa pandemi, tekanan dari pekerjaan tersebut sampai-sampai mendorong Amerika Serikat menghadapi ‘The Great Resignation’ yaitu pengunduran massal dari jutaan pegawai. Salah satunya pemicunya adalah tekanan organisasi untuk kembali bekerja ke kantor. Inisiatif fleksibilitas perilaku kerja seperti ini dipandang tak hanya sebagai sebuah strategi retensi tenaga kerja, akan tetapi juga sebagai upaya mendukung kesehatan mental di tempat kerja.

American Psychological Association dalam artikelnya tentang psikologi di tempat kerja memang telah lama menyarankan agar tempat kerja bertransformasi. Hal ini semakin nyaring setelah terjadi gelombang bekerja dari rumah di masa pandemi, diikuti dengan kerja hybrid sampai saat kini kita mulai berani kembali berkantor. Asosiasi profesi ini menawarkan sejumlah strategi untuk organisasi agar memberikan dukungan kepada kesehatan mental pegawainya. Dengan mengaplikasikan strategi tersebut, maka diharapkan organisasi dapat mentransformasi pola kerjanya sedemikian rupa sehingga pegawainya dapat bekerja tanpa harus mengalami penurunan kesehatan mental.

Contoh dari strategi tersebut adalah pelatihan untuk para manajer agar meningkatkan sensitivitas terkait isu kesehatan mental. Pelatihan ini juga bertujuan menghapus stigma yang selama ini dicapkan pada kesehatan mental. Harapannya agar pegawai lebih nyaman dan aman mengungkapkan kebutuhannya terkait isu Kesehatan mental. Cara lain adalah memberikan pilihan kepada pegawai untuk memilih dimana, kapan dan bagaimana cara mereka bekerja. Fleksibilitas ini memberikan kendali lebih besar kepada pegawai tentang bagaimana ia menyesuaikan kerja dengan aneka tuntutan kehidupan lainnya.

Strategi lain yang juga bisa dilakukan oleh organisasi adalah memastikan bahwa kebijakan asuransi kesehatan mencakup juga layanan untuk kesehatan mental. Pemanfaatan layanan digital seperti konseling via aplikasi juga bisa diterapkan dalam organisasi. Tak hanya itu, organisasi juga direkomendasikan agar lebih mendengarkan suara pegawai – misalnya melakukan survey anonim sehingga pegawai bisa merasa aman menyampaikan kebutuhannya, adanya kotak saran di berbagai tempat umum, maupun diskusi kelompok terpumpun (focus group discussion) untuk membicarakan inisiatif-inisiatif terkait kesehatan mental,

Salah satu contoh dari intervensi yang diberlakukan di tingkat organisasi adalah STAR. STAR ini merupakan singkatan dari Support-Transform-Achieve-Results. Pegawai diminta mengisi diari digital selama 1 bulan sebelumnya. Setelah itu, pegawai menjalani proses selama 3 bulan yang mencakup berbagai pelatihan. Pelatihan ini memberikan dukungan terhadap kehidupan pribadi dan keluarga para pegawainya. Tak hanya itu, fleksibilitas pola kerja juga diterapkan untuk membuat pegawai memiliki kendali atas kehidupannya. Intervensi di tingkat organisasi ini ternyata terbukti efektif menurunkan reaksi afektif dan fisik terhadap tekanan kerja sehari-hari. Kemampuan pegawai meregulasi emosi negatif juga meningkat berkat intervensi tersebut.

Bagaimana dengan Indonesia? Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Lingkungan Kerja sudah menyertakan aspek psikologis, tepatnya kesehatan mental karyawan di tempat kerja. Termaktub dalam peraturan tersebut arahan bagi organisasi untuk menyediakan program kebugaran bagi tenaga kerja, program konseling, komunikasi organisasi secara memadai, memberikan kebebasan bagi tenaga kerja untuk memberikan masukan dalam proses pengambilan keputusan. Mari kita refleksikan ketentuan ini pada tempat kerja kita masing-masing apakah semua ini sudah ditegakkan.

Terakhir, kerja mendominasi porsi kehidupan manusia dewasa apalagi yang tinggal di daerah perkotaan. Ketika sebagian besar waktu kita habiskan untuk bekerja, maka sejatinya masuk akal bagi organisasi untuk menaruh perhatian pada kesehatan mental. Pada akhirnya ketika semua orang bekerja sampai kelelahan, menjalankan tugas dengan bersungut-sungut, merasa tertekan akibat kewalahan sampai akhirnya memilih mundur daripada kehilangan kewarasan, sebenar-benarnya tak ada pihak yang dapat diuntungkan dari kondisi seperti ini.

 

Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo

Dosen Program Studi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya