Perempuan dan Pandemi

Ketika dunia bertekuk lutut karena pandemi Covid-19, nyaris seluruh pemimpin Negara di berbagai belahan dunia lintang pukang. Semua kalut silang sengkarut mengeluarkan instruksi isolasi diri, menggerakkan rumah sakit dan tenaga kesehatan, memulihkan ekonomi, menutup batas antar Negara, membangun kerjasama untuk membuka keran impor alat pelindung diri dan sebagainya.

Sementara para pemimpin terpontang-panting, media formal sampai sosial menyoroti bahwa ada sejumlah pemimpin perempuan yang dinilai efektif menghadapi serangan pandemic jasad renik tak terlihat ini. Beberapa nama yang mengemuka adalah kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern dan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen.

Performa para pemimpin Negara perempuan tersebut sungguh kontrak jika dibandingkan dengan sejumlah pemimpin laki-laki Negara adidaya lainnya seperti Perdana Menteri Inggris Boris Johnson juga Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Sementara laki-laki dipandang sebebagai sosok yang layak serta efektif memimpin, justru gambaran berbeda yang muncul di panggung dunia. Dalam situasi krisis global, perempuanlah yang tampak unggul.

Hal ini memunculkan pertanyaan: bagaimana sebenarnya pengaruh gender terhadap kepemimpinan? Benarkah perempuan lebih efektif memimpin dibandingkan laki-laki? Pertanyaan ini relevan dengan Hari Kartini yang baru-baru ini kita rayakan. R.A. Kartini bersama tokoh perempuan pergerakan lainnya mendobrak tradisi yang memungkinkan perempuan Indonesia menempati posisi penentu di sektor pemerintahan, birokrasi dan politik. Emansipasi dan kesetaraan gender.A. Kartini mewujud pada para tokoh pemimpin perempuan baik di tingkat nasional sampai internasional.

Sayangnya, diskriminasi perempuan di sektor sosial budaya marak terjadi – sebagaimana tercermin dari angka kekerasan seksual terhadap perempuan sampai angka kematian ibu melahirkan. Hingga hari ini masih ada anggapan bahwa perempuan tak perlu bersekolah tinggi karena toh nanti kembali ke dapur juga, perempuan berpendidikan tinggi justru seret mendapatkan suami, dan lain sebagainya. Para perempuan yang mengampu posisi pemimpin sering dikenai berbagai label merendahkah antara lain tidak rasional, emosional, lembek, kompromistis, cerewet dan sebagainya. Semesta budaya pop juga belum banyak memunculkan representasi pemimpin perempuan sebagai tokoh yang cerdas, contohnya karakter perempuan di film lebih banyak diposisikan sebagai korban yang butuh diselamatkan oleh jagoan laki-laki.

Mari kita pinjam kacamata ilmu Psikologi untuk mengkaji hal ini. Psikologi membedah kepemimpinan ke dalam berbagai perilaku, antara lain memberikan gambaran masa depan, berkomunikasi serta berkoordinasi, mengeluarkan perintah atau instruksi, memberikan penghargaan serta pujian, melimpahkan wewenang, membagi tanggung jawab, memberikan kesempatan berperan, mengobarkan semangat dan motivasi, membimbing serta mengarahkankan, mengeluarkan ancaman sampai hukuman, dan lain sebagainya.

Lalu apakah yang membedakan laki-laki dan perempuan dalam rangkaian perilaku yang dilakukan untuk memimpin? Penelitian Harvard Business Review tahun 2019 menguraikan bahwa berdasarkan survey, perempuan dipersepsikan unggul dalam mengambil inisiatif, daya juang, mengembangkan potensi diri, meraih capaian, integritas tinggi dan kejujuran. Pemimpin laki-laki secara umum dipersepsikan unggul dalam mengembangkan perspektif strategis serta memiliki penguasaan teknis. Selain itu, ada banyak hal yang juga mempengaruhi efektivitas seseorang saat memimpin – antara lain budaya organisasi, jenis usaha, jumlah pegawai dan lain sebagainya. Kesimpulannya adalah perempuan maupun laki-laki sama-sama punya kans menjadi pemimpin yang efektif.

Yang menarik justru temuan berikut. Saat menilai diri sendiri dalam hal keterampilan memimpin, secara umum para pemimpin perempuan memberikan nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan saat sesama rekan pria mereka menilai diri mereka pribadi. Menarik untuk melihat bahwa sekalipun ada banyak contoh efektivitas perempuan dalam memimpin, justru perempuan punya kepercayaan diri yang lebih rendah dibandingkan laki-laki saat menilai kompetensi pribadinya.

Rekan-rekan pemimpin pria bisa jadi memandang diri sendiri mampu memimpin, terampil memberi arahan, piawai memberikan motivasi, jago menghadapi situasi krisis – bahkan acap kali menempatkan diri lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan mereka yang sebenarnya. Sebaliknya, perempuan pemimpin rentan memandang rendah kemampuan sendiri, mengganggap pencapaiannya sebagai ‘ah biasa saja,’ dan mengalah dengan menghindari peluang pengembangan diri. Hal ini berresonansi dengan R.A. Kartini, di dalam kumpulan surat menyurat yang kemudian dibukukan dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang,” ia berucap: satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri.

Semoga dengan contoh gemilang para pemimpin perempuan mengatasi pandemi, perempuan-perempuan Indonesia bisa juga terinspirasi untuk menang melawan virus yang hidup di dalam benak - virus kurang percaya diri yang melemahkan kompetensi kepemimpinannya. Semoga inspirasi efektivitas kepemimpinan para perempuan dunia bisa mengemansipasi perempuan Indonesia.

 

Gita WIdya Laksmini Soerjoatmodjo, M.A., M.Psi., Psikolog
Program Studi Psikologi Universitas Pembangunan Jaya